Senin, 30 April 2012

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MERUMUSKAN TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MERUMUSKAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA


1. Latar Belakang dikeluarkannya Undang-Undang Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Masalah kekerasan dalam rumah tangga pertama kali dibahas dalam
seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan dan Pengabdian Hukum
Universitas Indonesia pada tahun 1991. Materi seminar difokuskan pada suatu
wacana adanya tindak kekerasan yang luput dari perhatian masyarakat maupun
penegak hukum, yaitu tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Dalam
seminar tersebut diusulkan pembentukan undang-undang khusus untuk
menanggulangi tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Ada yang
menyetujui dibentuknya undang-undang khusus, tetapi ada juga yang
menentangnya. Dengan alasan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana telah
cukup mengaturnya. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap dibentuknya
undang-undang baru tersebut, memberikan argumentasi menurut sudut pandang
masing-masing. Namun, kiranya perjuangan kaum perempuan dan sebagian kaum
laki-laki yang mengikuti seminar tersebut tidak berhenti sampai di situ. Karena
sejak itu kaum perempuan mulai bangkit dengan berbagai upaya untuk
menyingkap tradisi yang mengharuskan perempuan menutupi tindakan kekerasan
dalam keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan (baik yang terjadi dalam rumah tangga
maupun dalam lingkungan kehidupan bernegara dan bermasyarakat lainnya)
bertentangan dengan prinsip perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan prinsip
kesetaraan jender.
Sebelum adanya Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT), KDRT selalu diindikasikan sebagai salah satu bentuk
delik aduan. Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal 351 ayat 1 KUHP
(tentang Penganiayaan) dan Pasal 356 KUHP (Pemberatan) sama sekali tidak
mensyaratkan adanya satu delik aduan. Hanya saja masyarakat (khususnya aparat
penegak hukum) selalu meganggap jika suatu kasus berkaitan dengan keluarga
maka selalu dinyatakan sebagai delik aduan, padahal kasus itu sebenarnya adalah
sebuah kejahatan murni. Kalaupun misalnya dibelakang hari nanti korban
melakukan pencabutan aduan, seharusnya polisi bersikap tegas dengan
menganggap bahwa apa yang dilaporkan itu memang sebagai bentuk kejahatan
dan harus ditindaklanjuti ke pengadilan. Hal ini memang menjadi kendala yang
sangat umum sekali dalam persoalan KDRT, karena kelompok korban memang
tidak bisa menyatakan secara berani bahwa ini adalah sebuah kejahatan yang
harus ditindaklanjuti dengan proses hukum. ketidakberanian korban sangat
berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di Indonesia, yaitu budaya patriarki
yang sangat kental yang serigkali melihat bahwa masalah KDRT bisa diselesaikan
tanpa melalui jalur hukum. Ironisnya, pilihan untuk meyelesaikan persoalan
KDRT tanpa melalui jalur hukum selalu disampaikan oleh aparat penegak hukum
sendiri. Padahal aparat penegak hukum sebetulnya sangat mengetahui bahwa
persoalan KDRT adalah kejahatan yang harus direspon dengan hukum.
KDRT memang tidak bisa dilepaskan secara murni sebagai satu
bentuk kejahatan tanpa harus disandingkan dengan satu bentuk hubungan
keluarga. Hal itu merupakan hal yang sangat dilematis dan hal itu juga disadari
oleh korban, khususnya oleh istri yang biasanya sebagai korban. Umumnya para
korban tersebut memilih melakukan gugatan karena dianggapnya sebagai jalur
yang tidak berkonflik dibandingkan dengan jalur pidana yang dampaknya lebih
jauh (pelaku/ suami korban kemungkinan akan dipidana penjara). Oleh karena itu
adanya Undang-Undang yang mengatur KDRT sangat didukung oleh berbagai
pihak.
Pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar pikiran pengajuan Undang-
Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kasus kekerasan dalam rumah tangga makin menunjukkan
peningkatan yang signifikan dari hari ke hari, baik kekerasan dalam bentuk
kekerasan fisik atau psikologis maupun kekerasan seksual dan kekerasan
ekonomi. Bahkan, sudah menjurus dalam bentuk tindak pidana
penganiayaan dan ancaman kepada korban, yang dapat menimbulkan rasa
ketakutan atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada seseorang;
b. Pandangan yang berpendapat semua kejahatan harus diatur dalam
suatu kodifikasi hukum, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah pandangan yang
tidak mendukung adanya pembaruan hukum sesuai dengan tuntutan
perkembangan yang ada, karena peraturan perundang-undangan tersebut
belum menyentuh permasalahan yang mendasar;
c. Para korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami berbagai
hambatan untuk dapat mengakses hukum seperti sulit untuk melaporkan
kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari aparat penegak
hukum;
d. Ketentuan Hukum Acara Pidana atau perundang-undangan lainnya
sejauh ini terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus kekerasan
yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan pribadi yang tidak boleh
dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat termasuk perempuan yang
menjadi korban ada yang menganggap kasus-kasus tersebut bukan sebagai tindak
kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di tengah-tengah masyarakat
yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif terhadap
perempuan sebagai pihak yang memang 'layak' dikorbankan dan dipandang
sebatas "alas kaki di waktu siang dan alas tidur di waktu malam". Di sisi lain,
kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum yang ada
semisal KUHP dan rancangan perubahannya, UU Perkawinan dan rancangan
amandemennya, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain-sejak awal memang
tidak dirancang untuk mengakomodasi kepentingan perempuan, melainkan hanya
untuk memihak dan melindungi nilai-nilai moralitas dan positivisme saja. Sebagai
contoh, sebelum adanya UU Penghapusan KDRT ketentuan hukum yang ada
masih memasukkan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti kasus perkosaan,
perdagangan perempuan, dan kasus pornografisme sebagai persoalan kesusilaan,
bukan dalam kerangka melindungi integritas tubuh perempuan yang justru sering
menjadi korban. Implikasinya, selain memunculkan rasa ketidakadilan dalam
hukum, kondisi ini juga tak jarang malah menempatkan perempuan yang menjadi
korban sebagai pelaku kejahatan atau memberinya celah untuk mengalami
kekerasan berlipat ganda. Wajar jika pada tataran tertentu, hukum-hukum tersebut
justru dianggap sebagai pengukuh marjinalisasi perempuan, yang meniscayakan
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, terus berlangsung
tanpa bisa 'tersentuh' oleh hukum.
Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga
mereka merasa perlu melakukan pembaruan institusional dan hukum yang lebih
memihak kepada perempuan melalui langkah-langkah yang strategis dan
sistematis. Pembaruan institusional yang mereka maksud adalah upaya-upaya
mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk melalui
kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan tradisi, norma, dan
tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya. Adapun
pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan perlindungan,
pencegahan, dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melalui legalisasi produk
hukum yang lebih berperspektif jender. Dalam hal ini, upaya strategis yang
pertama kali mereka lakukan adalah mendesak Pemerintah untuk membentuk
sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan pencegahan dan
pemberantasan kekerasan terhadap perempuan. Upaya ini membuahkan hasil

2. Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah
Tangga
Kekerasan (fisik, psikis dan seksual) terjadi dimana-mana dan
cenderung makin meningkat. Banyak sekali kasus kekerasan dalam rumah tangga
(domestic violence) tidak dilaporkan kepada polisi untuk ditindak sebagaimana
mestinya, dan makin sedikit lagi yang diselidiki, disidik, dan dituntut di depan
pengadilan. Data yang tersedia baik di tingkat regional maupun pusat tentang
kekerasan tersebut sangat langka, yang sesungguhnya diperlukan untuk
menetapkan berbagai kebijakan untuk mencegah merajalelanya kekerasan. Salah
satunya yaitu Tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah bentuk kejahatan
yang sangat menyengsarakan dalam waktu yang panjang. Sebagai akibat ”nonreporting
crimes” seperti ini selain para korban harus menderita dalam kediaman
(suffering in silence), para pelakunya juga jarang yang diproses dalam sistem
peradilan pidana.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) cenderung dilakukan oleh
pria pada kelompok usia yang masih muda, tidak bekerja, tidak dalam ikatan
pernikahan yang sah, kemungkinan pernah menyaksikan Kekerasan dalam Rumah
Tangga pada masa kanak-kanak, serta adanya problem psikiatri yang bervariasi
dari depresi sampai penyalahgunaan zat berbahaya. Beberapa keadaan lain yang
perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan terjadinya KDRT adalah
masalah terkait obat-obatan dan alkohol, situasi yang berkaitan dengan keadaan
stress dan depresi. Banyak pelaku KDRT melakukan kekerasan di bawah
pengaruh alkohol. Namun pelaku yang melakukan kekerasan dalam kondisi sadar
mengambil proporsi yang lebih besar.
Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut antara lain untuk :
a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
d) memelihara keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Beranjak dari tujuan yang demikian, maka pemerintah mempenalisasi
tindak kekerasan dalam rumah tangga dengan pidana yang jauh lebih berat
daripada ketentuan dalam KUHP. Tindak pidana yang dikategorikan sebagai
kekerasan dalam rumah tangga juga ditambah dengan “tindak pidana penelantaran
rumah tangga”. Undang-undang ini tidak hanya memuat ketentuan pidana, tapi
juga ketentuan tentang perlindungan (dalam bentuk beberapa hak) dan layanan
terhadap korban KDRT, kewajiban aparat penegak hukum, serta pihak yang
terkait dalam pemberian perlindungan tersebut). Keseluruhannya dengan maksud
untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dicantumkan dalam Pasal 4 undangundang
tersebut.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga
memuat alternatif pengaturan sanksi pidana bagi pelaku dan tujuannya juga
meliputi korektif, preventif dan protektif, yang juga berdasarkan tingkat ringan
dan beratnya tindak KDRT. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah undang-undang yang mengatur permasalahan spesifik
secara khusus, sehingga memuat unsur-unsur lex special. Unsur-unsur lex special
terdiri dari :
- Unsur korektif terhadap pelaku, Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur alternatif sanksi dari pada
KUHP yang hanya mengatur pidana penjara dan denda, yakni berupa
kerja sosial dan program intervensi yang diberlakukan tehadap pelaku.
Hal ini dimaksudkan agar pelaku tidak kembali melakukan tindak
kekerasan.
- Unsur preventif terhadap masyarakat, Keberadaan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ditujukan untuk
mencegah tindak kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah tangga,
karena selama ini masalah kekerasan dalam rumah tangga dianggap
masalah privat sehingga kekerasan yang terjadi tidak mudah di
intervensi.
- Unsur Protektif terhadap korban, Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga memuat pasal-pasal yang memberikan
perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam hubunganhubungan
domestik, khususnya terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi
(kelompok rentan yaitu : wanita dan anak-anak).

 Perumusan Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
Istilah “pidana” berasal dari bahasa Sansekerta (dalam bahasa Belanda
disebut “straf” dan dalam bahasa Inggris disebut “penalty”) yang artinya
“hukuman”. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya kamus hukum,
“pidana” adalah “hukuman”. Pada hakekatnya sejarah hukum pidana adalah
sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai hubungan erat
dengan masalah tindak pidana. Masalah tindak pidana merupakan masalah
kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh setiap bentuk
masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada tindak pidana. Tindak pidana
selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat itu sendiri. Sehingga
apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana tidak mungkin
tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus melainkan hanya
dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya.







HUKUIM PIDANA
Hukum pidana bagian adalah daripada keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara.Adapun dasar-dasar dan aturan yang ada pada hukum pidana:
1.Menentukan perbuatan  mana yang boleh dilakukan ,yang dilarang,dengan   disertai dengan ancaman atau saksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2.menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan ataun dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan.
3.Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut.
            Dari dasar-dasar dan aturan diatas dapat diperjelaskan lebih singkat sebagai berikut:
a.Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negera.
b.perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana ,(kepada barang siapa yang melanggar larangan ersebut)lebih singkatnya kita dapat menanamakan perbuatan pidana atau delik.
c.Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai perbuatan pidana,kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang.
d.Barang siapa melakukan oerbuatan pidana diancam dengan pidana .Akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana.
            Hal-hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorrang yang telah melakukan perbuatan pidana tidak dapat dipidana dapat terletak pada orangnya sendiri (karena tidak mampu bertanggung jawab yang disebabkan karena jiwanya terganggu oleh suatu penyakit atau karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna .
Pangkal hukum pidana ada dua hal yaitu:
a.perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memungkinkan adnya pemberian pidana.Perbuatan itu dapat disebut sebagai “perbuatan pidana” atau juga dapat disebut sebagai “perbuatan jahat’oleh karena ada perbuatan ini harus ada orang yang melakukannya,maka peersoalan tentang perbuatan  tertentu tersebut dapat dijabarkan menjadi dua persoalan yaitu perbuatan yang dilarang dan orang yang melanggar larangan itu.
b.pidana
            yang dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Disini ada 3 dasar dalam hukum pidana  yaitu:
a.sifat melawan hukum
b.kesalahan
c.pidana
            Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum .Jadi meskipun perbuatanyamemenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan ,namun hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk penjatuhambn pidana.Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat ,bahwa orang  tersebut benar-benar terbukti melakukan kesalahan atau bersalah .Dengan perkataan lain ,orang tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatanya jika dilihat dari sudut perbuatannya ,perbuatannya harus dpatdipertanggungjawabkan kepada orang trsebut.


Simpulan

A.Kebijakan formulatif terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga menurut ketentuan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UUPKDRT) pada beberapa ketentuan pasalnya yang tidak
menimbulkan akibat yang berupa penyakit atau halangan untuk
menjalankan aktivitasnya sehari-hari ditentukan sebagai delik aduan
sebagaimana tersebut pada Pasal 51 (kekerasan fisik), 52 (kekerasan
psikis), dan 53 (kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami atau istri).
Delik aduan yang menitik beratkan pada pengaduan korban memiliki
kelemahan yang mengakibatkan tidak semua pelaku tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga dapat dijerat hukum. Para pelaku tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat saja bebas dari segala
tuntutan hukum apabila korbannya tidak membuat pengaduan atau
mencabut pengaduannya padahal perbuatan pelaku jelas-jelas melanggar
hak asasi korban. Diperlukan pengaturan yang lebih tegas dalam UU
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga mengenai klasifikasi
perbuatan mana saja yang termasuk delik aduan dan perbuatan yang
termasuk delik biasa.
B. Kebijakan hukum pidana dalam perumusan sistem sanksi pidana terhadap
tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut ketentuan
Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT)
menggunakan jenis sistem perumusan alternatif. Pidana yang dijatuhkan
berupa pidana penjara atau denda dengan aturan minimum dan maksimum.
Dalam Pasal 44 (kekerasan fisik), Pasal 45 (kekerasan psikis), dan Pasal
49 (penelantaran) tidak ditentukan batas minimal pidana hanya menyebut
batas maksimal saja. Sedangkan untuk Pasal 46 dan Pasal 47 tentang
kekerasan seksual disebutkan dalam Pasal 48 ditentukan dengan jelas batas
minimal dan batas maksimal penjatuhan pidana penjara dan pidana
dendanya. Ancaman pidana bersifat alternatif, keputusan hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada pelaku sepenuhnya ada di tangan hakim.
Namun dengan adanya ketentuan ancaman pidana yang bersifat alternatif,
bisa jadi hakim memutuskan dengan menjatuhkan pidana denda. Hal ini
akan sangat menguntungkan pelaku karena tidak perlu menjalani pidana
penjara dalam kurun waktu tertentu. Pelaku masih bebas berkeliaran dan
besar kemungkinan timbul rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi korban.
Selain itu ketentuan tentang kekerasan psikis ancaman pidananya lebih
ringan dibandingkan ketentuan-ketentuan kekerasan lainnya dalam lingkup
rumah tangga. Padahal akibat yang ditimbulkan dari kekerasan psikis ini
sama beratnya dengan kekerasan fisik karena berkaitan dengan harga diri
walaupun kekerasan psikis ini tidak meninggalkan luka pada fisik
sehingga sulit dilihat oleh mata.




Saran

A. Perlu kajian ulang terhadap Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga seperti kriminalisasi atas suatu perbuatan, sifat delik
aduan pada beberapa tindak pidana karena ada beberapa tindak pidana
kekerasan dalam rumah tangga yang lebih tepat bila termasuk dalam delik
biasa demi perlindungan Hak Asasi Manusia dan tegaknya keadilan.
B. Selain sanksi maksimal perlu pencantuman lebih tegas dalam hal batas
minimal penjatuhan sanksi pidana baik penjara maupun denda untuk
adanya jaminan kepastian hukum, serta sifat alternatif sanksi dalam
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu
dipertimbangkan untuk menggunakan sistem kumulatif-alternatif karena
apabila menggunakan sistem alternatif saja untuk tindak pidana kekerasan
dalam rumah tangga yang tergolong berat sangatlah tidak adil bagi korban,
dimana pelaku dapat bebas dari pidana penjara hanya dengan membayar
denda saja, sehingga korban merasa tidak aman.