KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM
MERUMUSKAN TINDAK
PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH
TANGGA
1. Latar Belakang dikeluarkannya Undang-Undang
Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Masalah kekerasan dalam rumah tangga
pertama kali dibahas dalam
seminar yang diselenggarakan oleh Pusat Pelayanan dan
Pengabdian Hukum
Universitas Indonesia pada tahun 1991. Materi seminar
difokuskan pada suatu
wacana adanya tindak kekerasan yang luput dari perhatian
masyarakat maupun
penegak hukum, yaitu tindak kekerasan yang terjadi dalam
rumah tangga. Dalam
seminar tersebut diusulkan pembentukan undang-undang khusus
untuk
menanggulangi tindak kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga. Ada yang
menyetujui dibentuknya undang-undang khusus, tetapi ada juga
yang
menentangnya. Dengan alasan bahwa Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana telah
cukup mengaturnya. Baik yang pro maupun yang kontra terhadap
dibentuknya
undang-undang baru tersebut, memberikan argumentasi menurut
sudut pandang
masing-masing. Namun, kiranya perjuangan kaum perempuan dan
sebagian kaum
laki-laki yang mengikuti seminar tersebut tidak berhenti
sampai di situ. Karena
sejak itu kaum perempuan mulai bangkit dengan berbagai upaya
untuk
menyingkap tradisi yang mengharuskan perempuan menutupi
tindakan kekerasan
dalam keluarga.
Kekerasan terhadap perempuan (baik yang
terjadi dalam rumah tangga
maupun dalam lingkungan kehidupan bernegara dan
bermasyarakat lainnya)
bertentangan dengan prinsip perlindungan terhadap hak asasi
manusia, dan prinsip
kesetaraan jender.
Sebelum adanya Undang-Undang
Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga (KDRT), KDRT selalu diindikasikan sebagai salah
satu bentuk
delik aduan. Padahal sebenarnya apabila dilihat dalam Pasal
351 ayat 1 KUHP
(tentang Penganiayaan) dan Pasal 356 KUHP (Pemberatan) sama
sekali tidak
mensyaratkan adanya satu delik aduan. Hanya saja masyarakat
(khususnya aparat
penegak hukum) selalu meganggap jika suatu kasus berkaitan
dengan keluarga
maka selalu dinyatakan sebagai delik aduan, padahal kasus
itu sebenarnya adalah
sebuah kejahatan murni. Kalaupun misalnya dibelakang hari
nanti korban
melakukan pencabutan aduan, seharusnya polisi bersikap tegas
dengan
menganggap bahwa apa yang dilaporkan itu memang sebagai
bentuk kejahatan
dan harus ditindaklanjuti ke pengadilan. Hal ini memang
menjadi kendala yang
sangat umum sekali dalam persoalan KDRT, karena kelompok
korban memang
tidak bisa menyatakan secara berani bahwa ini adalah sebuah
kejahatan yang
harus ditindaklanjuti dengan proses hukum. ketidakberanian
korban sangat
berkaitan erat dengan budaya yang berlaku di Indonesia,
yaitu budaya patriarki
yang sangat kental yang serigkali melihat bahwa masalah KDRT
bisa diselesaikan
tanpa melalui jalur hukum. Ironisnya, pilihan untuk
meyelesaikan persoalan
KDRT tanpa melalui jalur hukum selalu disampaikan oleh
aparat penegak hukum
sendiri. Padahal aparat penegak hukum sebetulnya sangat
mengetahui bahwa
persoalan KDRT adalah kejahatan yang harus direspon dengan
hukum.
KDRT memang tidak bisa dilepaskan secara murni sebagai satu
bentuk kejahatan tanpa harus disandingkan dengan satu bentuk
hubungan
keluarga. Hal itu merupakan hal yang sangat dilematis dan
hal itu juga disadari
oleh korban, khususnya oleh istri yang biasanya sebagai
korban. Umumnya para
korban tersebut memilih melakukan gugatan karena dianggapnya
sebagai jalur
yang tidak berkonflik dibandingkan dengan jalur pidana yang
dampaknya lebih
jauh (pelaku/ suami korban kemungkinan akan dipidana
penjara). Oleh karena itu
adanya Undang-Undang yang mengatur KDRT sangat didukung oleh
berbagai
pihak.
Pokok-pokok pikiran yang menjadi dasar
pikiran pengajuan Undang-
Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Kasus kekerasan dalam rumah tangga makin menunjukkan
peningkatan yang signifikan dari hari ke hari, baik
kekerasan dalam bentuk
kekerasan fisik atau psikologis maupun kekerasan seksual dan
kekerasan
ekonomi. Bahkan, sudah menjurus dalam bentuk tindak pidana
penganiayaan dan ancaman kepada korban, yang dapat
menimbulkan rasa
ketakutan atau penderitaan psikis berat bahkan kegilaan pada
seseorang;
b. Pandangan yang berpendapat semua kejahatan harus diatur
dalam
suatu kodifikasi hukum, seperti Kitab Undang-Undang Hukum
Acara
Pidana atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana adalah
pandangan yang
tidak mendukung adanya pembaruan hukum sesuai dengan
tuntutan
perkembangan yang ada, karena peraturan perundang-undangan
tersebut
belum menyentuh permasalahan yang mendasar;
c. Para korban kekerasan dalam rumah tangga mengalami
berbagai
hambatan untuk dapat mengakses hukum seperti sulit untuk
melaporkan
kasusnya ataupun tidak mendapat tanggapan positif dari
aparat penegak
hukum;
d. Ketentuan Hukum Acara Pidana atau perundang-undangan
lainnya
sejauh ini terbukti tidak mampu memberikan perlindungan bagi
korban
kekerasan dalam rumah tangga.
Selama ini, masyarakat masih menganggap kasus-kasus
kekerasan
yang terjadi pada lingkup keluarganya sebagai persoalan
pribadi yang tidak boleh
dimasuki pihak luar. Bahkan sebagian masyarakat termasuk
perempuan yang
menjadi korban ada yang menganggap kasus-kasus tersebut
bukan sebagai tindak
kekerasan, akibat masih kuatnya budaya patriarki di
tengah-tengah masyarakat
yang selalu mensubordinasi dan memberikan pencitraan negatif
terhadap
perempuan sebagai pihak yang memang 'layak' dikorbankan dan
dipandang
sebatas "alas kaki di waktu siang dan alas tidur di
waktu malam". Di sisi lain,
kalangan feminis juga memandang bahwa produk-produk hukum
yang ada
semisal KUHP dan rancangan perubahannya, UU Perkawinan dan
rancangan
amandemennya, UU Pornografi dan Pornoaksi, dan lain-lain-sejak
awal memang
tidak dirancang untuk mengakomodasi kepentingan perempuan,
melainkan hanya
untuk memihak dan melindungi nilai-nilai moralitas dan
positivisme saja. Sebagai
contoh, sebelum adanya UU Penghapusan KDRT ketentuan hukum
yang ada
masih memasukkan kasus kekerasan terhadap perempuan seperti
kasus perkosaan,
perdagangan perempuan, dan kasus pornografisme sebagai
persoalan kesusilaan,
bukan dalam kerangka melindungi integritas tubuh perempuan
yang justru sering
menjadi korban. Implikasinya, selain memunculkan rasa
ketidakadilan dalam
hukum, kondisi ini juga tak jarang malah menempatkan
perempuan yang menjadi
korban sebagai pelaku kejahatan atau memberinya celah untuk
mengalami
kekerasan berlipat ganda. Wajar jika pada tataran tertentu,
hukum-hukum tersebut
justru dianggap sebagai pengukuh marjinalisasi perempuan,
yang meniscayakan
kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT,
terus berlangsung
tanpa bisa 'tersentuh' oleh hukum.
Fakta-fakta inilah yang menginspirasi kalangan feminis sehingga
mereka merasa perlu melakukan pembaruan institusional dan
hukum yang lebih
memihak kepada perempuan melalui langkah-langkah yang
strategis dan
sistematis. Pembaruan institusional yang mereka maksud
adalah upaya-upaya
mengubah pola budaya yang merendahkan perempuan, termasuk
melalui
kurikulum pendidikan, seraya menutup peluang penggunaan
tradisi, norma, dan
tafsiran agama untuk menghindari kewajiban memberantasnya.
Adapun
pembaruan hukum diarahkan untuk menciptakan jaminan
perlindungan,
pencegahan, dan pemberantasan kasus-kasus kekerasan melalui
legalisasi produk
hukum yang lebih berperspektif jender. Dalam hal ini, upaya
strategis yang
pertama kali mereka lakukan adalah mendesak Pemerintah untuk
membentuk
sebuah komisi nasional yang bertugas memonitor tindakan
pencegahan dan
pemberantasan kekerasan terhadap perempuan. Upaya ini
membuahkan hasil
2. Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang Kekerasan dalam
Rumah
Tangga
Kekerasan (fisik, psikis dan seksual) terjadi dimana-mana
dan
cenderung makin meningkat. Banyak sekali kasus kekerasan
dalam rumah tangga
(domestic
violence) tidak dilaporkan kepada polisi untuk
ditindak sebagaimana
mestinya, dan makin sedikit lagi yang diselidiki, disidik,
dan dituntut di depan
pengadilan. Data yang tersedia baik di tingkat regional
maupun pusat tentang
kekerasan tersebut sangat langka, yang sesungguhnya
diperlukan untuk
menetapkan berbagai kebijakan untuk mencegah merajalelanya
kekerasan. Salah
satunya yaitu Tindak kekerasan dalam rumah tangga adalah
bentuk kejahatan
yang sangat menyengsarakan dalam waktu yang panjang. Sebagai
akibat ”nonreporting
crimes” seperti ini selain para korban harus menderita dalam
kediaman
(suffering
in silence), para pelakunya juga jarang yang
diproses dalam sistem
peradilan pidana.
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) cenderung dilakukan oleh
pria pada kelompok usia yang masih muda, tidak bekerja,
tidak dalam ikatan
pernikahan yang sah, kemungkinan pernah menyaksikan
Kekerasan dalam Rumah
Tangga pada masa kanak-kanak, serta adanya problem psikiatri yang bervariasi
dari depresi sampai penyalahgunaan zat berbahaya. Beberapa
keadaan lain yang
perlu mendapat perhatian terhadap kemungkinan terjadinya
KDRT adalah
masalah terkait obat-obatan dan alkohol, situasi yang
berkaitan dengan keadaan
stress dan depresi. Banyak pelaku KDRT melakukan kekerasan
di bawah
pengaruh alkohol. Namun pelaku yang melakukan kekerasan
dalam kondisi sadar
mengambil proporsi yang lebih besar.
Tujuan dikeluarkannya Undang-Undang No.
23 tahun 2004 tentang
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga tersebut antara
lain untuk :
a) mencegah segala bentuk kekerasan dalam rumah tangga;
b) melindungi korban kekerasan dalam rumah tangga;
c) menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan
d) memelihara
keutuhan rumah tangga yang harmonis dan sejahtera.
Beranjak dari tujuan yang demikian, maka pemerintah
mempenalisasi
tindak kekerasan dalam rumah tangga dengan pidana yang jauh
lebih berat
daripada ketentuan dalam KUHP. Tindak pidana yang
dikategorikan sebagai
kekerasan dalam rumah tangga juga ditambah dengan “tindak
pidana penelantaran
rumah tangga”. Undang-undang ini tidak hanya memuat
ketentuan pidana, tapi
juga ketentuan tentang perlindungan (dalam bentuk beberapa
hak) dan layanan
terhadap korban KDRT, kewajiban aparat penegak hukum, serta pihak
yang
terkait dalam pemberian perlindungan tersebut).
Keseluruhannya dengan maksud
untuk mencapai tujuan sebagaimana yang dicantumkan dalam
Pasal 4 undangundang
tersebut.
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga
memuat alternatif pengaturan sanksi pidana bagi pelaku dan
tujuannya juga
meliputi korektif, preventif dan protektif, yang juga
berdasarkan tingkat ringan
dan beratnya tindak KDRT. Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam
Rumah Tangga adalah undang-undang yang mengatur permasalahan
spesifik
secara khusus, sehingga memuat unsur-unsur lex special. Unsur-unsur lex
special
terdiri dari :
- Unsur korektif terhadap pelaku, Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga mengatur alternatif sanksi dari
pada
KUHP yang hanya mengatur pidana penjara dan denda, yakni
berupa
kerja sosial dan program intervensi yang diberlakukan
tehadap pelaku.
Hal ini dimaksudkan agar pelaku tidak kembali melakukan
tindak
kekerasan.
- Unsur preventif terhadap masyarakat, Keberadaan Undang-
Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga ditujukan
untuk
mencegah tindak kekerasan yang terjadi pada lingkup rumah
tangga,
karena selama ini masalah kekerasan dalam rumah tangga
dianggap
masalah privat sehingga kekerasan yang terjadi tidak mudah
di
intervensi.
- Unsur Protektif terhadap korban, Undang-Undang Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga memuat pasal-pasal yang
memberikan
perlindungan terhadap korban kekerasan yang terjadi dalam
hubunganhubungan
domestik, khususnya terhadap pihak-pihak yang tersubordinasi
(kelompok rentan yaitu : wanita dan anak-anak).
Perumusan Tindak
Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga
Istilah “pidana” berasal dari bahasa
Sansekerta (dalam bahasa Belanda
disebut “straf” dan dalam bahasa Inggris disebut “penalty”)
yang artinya
“hukuman”. Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio dalam bukunya
kamus hukum,
“pidana” adalah “hukuman”.
Pada hakekatnya sejarah hukum pidana
adalah
sejarah dari pidana dan pemidanaan yang senantiasa mempunyai
hubungan erat
dengan masalah tindak pidana. Masalah tindak pidana
merupakan masalah
kemanusiaan dan masalah sosial yang senantiasa dihadapi oleh
setiap bentuk
masyarakat. Di mana ada masyarakat, di situ ada tindak
pidana. Tindak pidana
selalu bertalian erat dengan nilai, struktur dan masyarakat
itu sendiri. Sehingga
apapun upaya manusia untuk menghapuskannya, tindak pidana
tidak mungkin
tuntas karena tindak pidana memang tidak mungkin terhapus
melainkan hanya
dapat dikurangi atau diminimalisir intensitasnya.
HUKUIM PIDANA
Hukum pidana bagian adalah daripada
keseluruhan hukum yang berlaku disuatu negara.Adapun dasar-dasar dan aturan
yang ada pada hukum pidana:
1.Menentukan perbuatan
mana yang boleh dilakukan ,yang dilarang,dengan disertai dengan ancaman atau saksi yang
berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.
2.menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka
yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan ataun dijatuhi
pidana sebagaimana telah diancamkan.
3.Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana
itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan
tersebut.
Dari
dasar-dasar dan aturan diatas dapat diperjelaskan lebih singkat sebagai
berikut:
a.Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negera.
b.perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan
diancam dengan pidana ,(kepada barang siapa yang melanggar larangan
ersebut)lebih singkatnya kita dapat menanamakan perbuatan pidana atau delik.
c.Tentang penentuan perbuatan mana yang dipandang sebagai
perbuatan pidana,kita menganut asas yang dinamakan asas legalitas yakni asas
yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai
demikian oleh suatu aturan undang-undang.
d.Barang siapa melakukan oerbuatan pidana diancam
dengan pidana .Akan tetapi ini belum berarti bahwa tiap-tiap orang yang
melakukan perbuatan tersebut lalu mesti dipidana.
Hal-hal
atau keadaan yang dapat mengakibatkan seseorrang yang telah melakukan perbuatan
pidana tidak dapat dipidana dapat terletak pada orangnya sendiri (karena tidak
mampu bertanggung jawab yang disebabkan karena jiwanya terganggu oleh suatu
penyakit atau karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna .
Pangkal hukum pidana ada dua hal yaitu:
a.perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu
maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan oleh orang
yang memungkinkan adnya pemberian pidana.Perbuatan itu dapat disebut sebagai
“perbuatan pidana” atau juga dapat disebut sebagai “perbuatan jahat’oleh karena
ada perbuatan ini harus ada orang yang melakukannya,maka peersoalan tentang
perbuatan tertentu tersebut dapat
dijabarkan menjadi dua persoalan yaitu perbuatan yang dilarang dan orang yang
melanggar larangan itu.
b.pidana
yang
dimaksud dengan pidana adalah penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang
yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Disini ada 3 dasar dalam hukum pidana yaitu:
a.sifat melawan hukum
b.kesalahan
c.pidana
Dipidananya
seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum .Jadi meskipun
perbuatanyamemenuhi rumusan delik dalam undang-undang dan tidak dibenarkan
,namun hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk penjatuhambn pidana.Untuk
pemidanaan masih perlu adanya syarat ,bahwa orang tersebut benar-benar terbukti melakukan
kesalahan atau bersalah .Dengan perkataan lain ,orang tersebut harus dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatanya jika dilihat dari sudut perbuatannya
,perbuatannya harus dpatdipertanggungjawabkan kepada orang trsebut.
Simpulan
A.Kebijakan
formulatif terhadap tindak pidana kekerasan dalam rumah
tangga menurut ketentuan Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah
Tangga (UUPKDRT) pada beberapa ketentuan pasalnya yang tidak
menimbulkan akibat yang berupa penyakit atau halangan untuk
menjalankan aktivitasnya sehari-hari ditentukan sebagai
delik aduan
sebagaimana tersebut pada Pasal 51 (kekerasan fisik), 52
(kekerasan
psikis), dan 53 (kekerasan seksual yang dilakukan oleh suami
atau istri).
Delik aduan yang menitik beratkan pada pengaduan korban
memiliki
kelemahan yang mengakibatkan tidak semua pelaku tindak
pidana
kekerasan dalam rumah tangga dapat dijerat hukum. Para
pelaku tindak
pidana kekerasan dalam rumah tangga dapat saja bebas dari
segala
tuntutan hukum apabila korbannya tidak membuat pengaduan
atau
mencabut pengaduannya padahal perbuatan pelaku jelas-jelas
melanggar
hak asasi korban. Diperlukan pengaturan yang lebih tegas
dalam UU
Penghapusan Kekerasan dalam Rumah tangga mengenai
klasifikasi
perbuatan mana saja yang termasuk delik aduan dan perbuatan
yang
termasuk delik biasa.
B. Kebijakan
hukum pidana dalam perumusan sistem sanksi pidana terhadap
tindak pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut ketentuan
Undang-Undang Kekerasan dalam Rumah Tangga (UUPKDRT)
menggunakan jenis sistem perumusan alternatif. Pidana yang
dijatuhkan
berupa pidana penjara atau denda dengan aturan minimum dan
maksimum.
Dalam Pasal 44 (kekerasan fisik), Pasal 45 (kekerasan
psikis), dan Pasal
49 (penelantaran) tidak ditentukan batas minimal pidana
hanya menyebut
batas maksimal saja. Sedangkan untuk Pasal 46 dan Pasal 47
tentang
kekerasan seksual disebutkan dalam Pasal 48 ditentukan
dengan jelas batas
minimal dan batas maksimal penjatuhan pidana penjara dan
pidana
dendanya. Ancaman pidana bersifat alternatif, keputusan
hakim dalam
menjatuhkan pidana kepada pelaku sepenuhnya ada di tangan
hakim.
Namun dengan adanya ketentuan ancaman pidana yang bersifat
alternatif,
bisa jadi hakim memutuskan dengan menjatuhkan pidana denda.
Hal ini
akan sangat menguntungkan pelaku karena tidak perlu
menjalani pidana
penjara dalam kurun waktu tertentu. Pelaku masih bebas
berkeliaran dan
besar kemungkinan timbul rasa tidak aman dan tidak nyaman
bagi korban.
Selain itu ketentuan tentang kekerasan psikis ancaman
pidananya lebih
ringan dibandingkan ketentuan-ketentuan kekerasan lainnya
dalam lingkup
rumah tangga. Padahal akibat yang ditimbulkan dari kekerasan
psikis ini
sama beratnya dengan kekerasan fisik karena berkaitan dengan
harga diri
walaupun kekerasan psikis ini tidak meninggalkan luka pada
fisik
sehingga sulit dilihat oleh mata.
Saran
A. Perlu
kajian ulang terhadap Undang-Undang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga seperti kriminalisasi atas suatu
perbuatan, sifat delik
aduan pada beberapa tindak pidana karena ada beberapa tindak
pidana
kekerasan dalam rumah tangga yang lebih tepat bila termasuk
dalam delik
biasa demi perlindungan Hak Asasi Manusia dan tegaknya
keadilan.
B. Selain
sanksi maksimal perlu pencantuman lebih tegas dalam hal batas
minimal penjatuhan sanksi pidana baik penjara maupun denda
untuk
adanya jaminan kepastian hukum, serta sifat alternatif
sanksi dalam
Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga perlu
dipertimbangkan untuk menggunakan sistem
kumulatif-alternatif karena
apabila menggunakan sistem alternatif saja untuk tindak
pidana kekerasan
dalam rumah tangga yang tergolong berat sangatlah tidak adil
bagi korban,
dimana pelaku dapat bebas dari pidana penjara hanya dengan
membayar
denda saja, sehingga korban merasa tidak aman.